Sabtu, 27 Maret 2010

Stormy Stormy Night

Suatu hari di masa depan...


Malem itu aku lagi nonton bluray bajakan di ruang keluarga. Judulnya apa ya? Sudahlah kalian juga gak bakal tahu, ini kan pilem masa depan. Aku nonton sendirian deh. Anak-anak dan istriku uda tidur duluan. Dasar cupu. Pembantuku uda tidur belum? Gak tau dong, emangnya kalian pikir aku majikan macam apa?

Di luar hujan deres. Dingin sekali. Petirnya juga menyambar-nyambar dengan menggebu-gebu. Tapi jangan khawatir, di jaman ini uda jarang mati lampu. Kalo gak salah lampu mati terakhir itu 4 taon yang lalu.

Pilemnya uda abis. Saatnya tidur. Tipi pun kumatikan. Sebagai informasi, tipi di jaman ini dikendalikan oleh perintah suara. Jadi kita tinggal mengucapkan kata-kata tertentu yang nanti akan dideteksi oleh tipi. Gak perlu pake remote lagi.
"Harmoko!" Itu adalah perintah suara yang kuatur untuk mematikan tipi. Entah kenapa aku pilih itu. Sampe sekarang aku sendiri heran. Tipi pun mati. "Matikan!" Kalo itu adalah perintah suara untuk menyalakan tipi. Nah, bingung kan? Aku juga. Tipi pun nyala lagi.
"Harmoko!" Mati. "Matikan!" Nyala. "Harmoko!" Mati. "Matikan!" Nyala.
"Harmoko! Matikan! Harmoko! Matikan! Harmoko! Matikan! Harmoko! Matikan! Harmoko! Matikan!"
Tipi pun kedip-kedip mati-nyala dengan setia sesuai perintah. Bagaikan lampu diskotek. Eh diskotek uda gak ada ding, uda diharamkan 7 tahun yang lalu.
Karena si tipi gak konslet-konslet juga, aku pun menyerah dan memilih untuk mengakui ketangguhannya. "Harmoko!" Lalu aku pun menuju ke kamar tidur di mana terdapat istriku tercinta di dalamnya.

Istriku itu sudah terbaring di ranjang. Yes! Segera kusebelahi dia dengan penuh semangat. Tahu sendiri kan efek hawa dingin pada pria. Posisinya memunggungiku. Aku towel-towel tangannya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Tidak ada reaksi. "Maaaam..." Panggilku dengan manja dan imut. Masih tidak ada reaksi.
Aku mulai penasaran, aku guncang bahunya perlahan sambil memanggil namanya. Siapa nama istriku itu? Sudahlah itu urusan rumah tangga orang, jangan ikut campur. Aku guncang lagi bahunya agak lebih keras. Tapi masih tidak ada reaksi. Hmm...
Aku pun berkata "Innalilah..."
"HUSSSSSSSSSSS!!"
Eh itu dia bangun, lalu mencubit perutku. "Nyumpahin istri sendiri ya!"
Ahahaha, ketahuan kamu pura-pura tidur oh istriku! Teganya dirimu...
"Salah sendiri pura-pura bobo"
"Habis kalo gak gitu pasti kamu ngajak ngobrol, jadi makin gak bisa tidur deh"
"Oh jadi dari tadi gak bisa tidur?"
"Iya hujannya serem sih....."
Lebih serem kamu kalo marah deh say, itu kataku dalam hati kepada istriku. Pasti dia gak denger. Rasain.
".....uda gitu belum berhenti-berhenti lagi," lanjutnya.

"Ya udah kalo takut sini tidurnya papa peluk aja."
"Ogah, bau! Hihi.."
Walo bicaranya demikian, dia tetep aja nurut pas dipeluk. Pake senyum-senyum lagi.
Dasar malu-malu mau. Hihi...
"Nah kalo dipeluk gini kan bisa jadi gak takut lagi..." kataku.
"Iya, bisa jadi anget juga.. hehe.." lanjut istriku.
"Iya, bisa jadi bayi juga... hehe.. aduhhh..." itu aku dicubit isriku.
"Mbooohhh, ngeresss..." begitu katanya. Walah...

Aku yakin kisah ini bisa berlanjut dengan lebih seru dan mendebarkan bagi para Pembaca pria yang masih sehat di seluruh muka bumi, sayangnya tiba-tiba masuklah kedua anakku ke dalam kamarku, "Papah.. Mamah....".

Anakku yang pertama itu lelaki. Sudah kelas 1 SD tapi masih single. Wajahnya seperti ibunya, syukurlah. Namanya Ervian. Itu adalah gabungan dari nama temen-temenku semasa kuliah dulu: Erisman, Octavianus, Andreas. Waktu ngasih nama anak itu, istriku sempet tanya, apa nanti temen-temenku yang laen yang namanya gak dipake gak pada iri. Lalu kujawab dengan bijak, "Oh kalau begitu kita bikin lagi aja yang banyak biar semua temenku bisa kepake namanya..." Seharusnya kalian sudah tahu gimana reaksi istriku kan? Baiklah tidak usah kita bahas.
Anakku yang kedua itu perempuan. Masih playgroup, masih single juga. Namanya dipilihkan oleh ibunya. Sebut saja Bunga, tapi itu bukan nama sebenarnya.

"Papah... Mamah... Takut...." Itu Ervian yang ngomong.
"Pah.. Mah.. Atuutt..." Itu Bunga ikut-ikut.
"Ah, cupuuuuuu..." Itu aku.
"Sini sayang..." itu istriku, menyuruh anak-anak naik ke kasur, sambil mencubit perutku lagi dengan keras.
"Mah.. Attiiit.." Itu aku lagi.

Akhirnya kami tidur berempat, dengan Ervian dan Bunga di antara aku dan istriku.
"Nanti kalo uda gede, Ervian harus bisa jaga adek yaa..." kataku.
"Iya," jawabnya, "si Bunga dikasih adek juga ya Pah, biar rame..."
"Wuookeee anakku.... Siap laksanakan! Mamah siap juga kah??" Jadi penasaran reaksinya....
"Tidurrr!!" Oh reaksinya tegas, tapi tersenyum. Hore... Tinggal tunggu waktu.
"Siap! Hihi...."
Ervian dan Bunga ketawa. Ih, apa mudeng sih kalian? Udah sana pada tidur!

Hujan di luar masih turun dengan hebatnya. Petir juga masih kayak yang tadi. Cuaca yang mengerikan.
Tapi tidak dapat mengalahkan kehangatan keluargaku. Aku jadi terharu dan ingin menangis. Tapi uda ngantuk. Ya sudah, kapan-kapan aja nangisnya.
Selamat tidur anak-anak... Selamat tidur Nyonya yang cantik di sebelah sana...



Hoahhmmm...
Check out more..

Jumat, 26 Maret 2010

Keliling Kota

Hari itu bukan hari Minggu, aku yakin itu. Tapi hari Selasa, aku juga yakin itu. Tapi kok libur. Kayaknya ada hari libur nasional apa gitu, agak lupa.

Pada hari itu papi dan mami pergi berziarah bersama warga gereja lainnya. Sejujurnya aku agak kurang tahu di mana, pokoknya di sekitar Jogja lah. Lagian yang wajib tahu lokasinya dengan pasti kan sopir bisnya, ya gak? Jadi cukup wajar kalo aku gak tahu.
Maka berangkatlah dua insan yang mabuk asmara itu pagi-pagi buta, sebelum ayam jantan berkokok tiga kali. Mereka naek mobil ke gereja, kumpul-kumpul bersama peziarah lainnya dulu, trus baru naek bis.
Daaaaa... Berbahagialah wahai ayahku, wahai ibuku...
Demikianlah aku di depan rumah mengantar kepergian mereka, melambai-lambaikan tangan pada mobil papi, sambil menyanyikan "sayonara-sayonara sampai berjumpa pula..." Aku berharap papi dan mami membalas dengan menyanyikan "selamat belajar nak penuh semangat.." Tapi tidak tuh. Ya sudah, bakat orang emang berbeda-beda.
Laguku belum sempat sampai pada bagian "buat apa susah, buat apa susah, susah itu tak ada gunanya", tapi mobil papi sudah tidak terlihat lagi. Maka aku memutuskan buat apa susah-susah nyanyi lagi karena itu tak ada gunanya. Aku pun masuk rumah dan tidur lagi.

Aktivitasku hari itu sampai tengah hari sepertinya tidak ada yang perlu diceritakan. Gitu-gitu aja.
Sorenya, sekitar pukul 3, aku yang bosan di rumah ini berniat jalan-jalan keliling kota. Aslinya sih mau naek mobil aja, siapa tahu ujan. Tapi itu tidak mungkin. Penyebab utamanya adalah, tahu sendiri kan, mobilnya lagi dipake papi-mami. Penyebab sampingannya adalah aku ini gak bisa nyetir mobil. Akhirnya pergilah aku naek sepeda motor.

Jalan keluar dari perumahanku itu Jalan Hasanuddin namanya.
Jalannya beraspal. Aspalnya bolong-bolong. Bolong-bolongnya berair. Airnya sisa hujan yang entah kapan terjadinya. Parah deh pokoknya. Kalau aku jadi Hasanuddin aku pasti sudah marah besar karena namaku dipake buat nama jalan yang wujudnya asusila gitu.
Semua kendaraan -- dari mobil mewah keluaran terbaru yang berisi satu orang, sampe motor bebek tua yang dinaiki satu keluarga -- semua harus rela enjot-enjotan di jalan yang bergelombang itu. Yang paling menderita tentu saja adalah shock breaker sepeda motorku yang harus menanggung beban berat lemak-lemak dan dosa-dosaku. Yah, salah siapa mau jadi shock breaker.

Setelah melalui neraka jahanam itu, beloklah aku ke kanan, ke Jalan Imam Bonjol. Jalanannya bisa dibilang nyaman, di kiri kanan ada pohon-pohon besar nan rindang. Tapi sayang dari arah berlawanan kadang ada bis-bis urakan yang kebut-kebutan. Mungkin aja karena sopirnya dulu bercita-cita pengin jadi pembalap nasional seperti Taufik Hidayat tapi gak kesampaian. Mungkin aja karena mereka harus bersaing rebutan penumpang dengan bis lain di depan atau belakangnya. Yah semoga saja mereka bisa berebut penumpang dengan sportif tanpa harus merebut nyawa orang. Selamat berjuang bapak-bapak sopir!

Tibalah aku di seputar Tugu Muda yang menjulang tinggi, walaupun masih kalah tinggi sama Monas, apalagi sama patung Liberty, apalagi sama Mount Everest, apalagi sama Tuhan yang Maha Tinggi. Ya sudah.
Sayang aku berangkatnya sore-sore. Kalau malam pasti Tugu Muda terlihat lebih bagus lagi, ada lampu-lampu kecil yang dipasang di puncaknya. Terlihat sangat indah, bagaikan sebatang rokok raksasa yang berpendar di tengah kota. Apaan sih...

Lalu sepeda motorku mengarah ke Jalan Pandanaran. Jalannya puanjaaaang sekali, dari pojok sini sampe pojok sana. Untunglah aku naek sepeda motor. Kalau aku jalan kaki, pasti aku tidak naek sepeda motor. Halah... Ngelantur lagi.
Oya, lupa bilang. Di sepanjang perjalanan tadi banyak terlihat poster-poster, spanduk-spanduk, dan baliho-baliho dari para calon wali kota. Sebentar lagi mau pemilihan wali kota sih. Sebentar lagi kapan? Ya kira-kira 5 menitan lagi. Tunggu aja.
Masing-masing calon dengan pose dan slogannya sendiri-sendiri. Siapa mereka itu? Aku gak kenal. Aku cuma tahu dari poster aja tuh. Sekedar, oh ini pak itu, oh itu bu ini... Sekedar gitu.
Lalu aku akan disuruh memilih wali kotaku dari orang-orang yang aku cuma tahu dari iklan-iklan itu??? Jangan bercanda deh. Tapi ya sudahlah, aku ini orangnya suka pasrah dan nurut, tipe mental rakyat jelata. Pasti aku pilih salah satu kok. Tapi ya itu, cuma berdasarkan iklan.
Oya lagi, yang tadi aku bilang pemilihannya 5 menitan lagi itu boong kok. Pasti juga uda pada tahu kan?

Sampailah aku di pusat kota yang bernama Simpang Lima. Selain pusat kota, tempat ini juga terkenal sebagai pusat papan iklan. Di sana-sini berdiri papan iklan. Mulai dari iklan narkoba (maksudnya iklan jauhi narkoba, bukan iklan jualan narkoba gitu) sampe iklan calon wali kota tadi.
Ada juga papan yang gambarnya wali kota yang masih berkuasa sekarang. Isinya tentang apa aku uda lupa. Jaga kebersihan atau kesehatan gitu mungkin. Atau jagalah ketertiban gitu. Atau jagalah hati jangan kau nodai. Tapi gak mungkin ding, itu mah Aa Gym. Lupa ah pokoknya. Papannya uda kusam dan suram. Sekusam dan sesuram masa depannya. Masa depannya siapa? Sudahlah tidak perlu dibahas daripada aku kena masalah.

Wah wah, ada Avatar di bioskop! Itu reaksiku saat melihat poster pilem bioskop yang ada di salah satu mal. Itu kan pilem box office terkenal! Sangat booming dimana-mana! Temen-temenku di kota laen yang uda nonton aja sampe heboh update status di Facebook! Kapan mereka nontonnya ya? Hmm.. Kira-kira sudah DUA-TIGA BULAN yang lalu... Walah, sialan. Sialan mereka. Jadi merasa basi deh aku. Males ngomongin lagi deh. Ya beginilah bioskop di kotaku. Yang sering up to date cuma pilem-pilem nasional yang kadang gak jelas gitu. Pilem tentang arwah gentayangan berbodi seksi, tentang hantu cabul, tentang suster yang suka merawat rambut. Semacam itu lah.

Dari Simpang Lima aku kembali mengarah ke Pandanaran karena mau ke toko buku yang ada di situ. Lha kok gak dari tadi ke situ aja, pake muter-muter Simpang Lima segala? Kata orang, hidup itu soal pilihan. Dan muter-muter Simpang Lima adalah pilihanku. Jadi mohon biarkan saja.
Perbuatan tercela yang kulakukan di toko buku, seperti misalnya baca buku gratisan, sepertinya tidak perlu dibahas karena dapat mempengaruhi kelakuan generasi muda yang secara tidak sengaja membaca blog ini. Setelah pulang dari toko buku pun aku melewati jalan yang sama seperti saat berangkatnya tadi. Jadi sepertinya tidak ada lagi yang perlu dibahas di sini. Maka tidak ada lagi alasan untuk tidak mengakhiri posting ini.
Ya sudah.




Papi dan mami pulang rumah jam 12 malem. Aku lagi nonton tipi. Andai itu aku yang pulang jam segitu, pasti mami uda mencak-mencak tanya aku darimana aja, jam segini baru pulang. Tapi untungnya aku, sebagaimana yang sudah Pembaca tahu, adalah anak yang soleh dan pengertian kepada orangtuanya. Maka kusambut mereka dengan gembira, termasuk segenap oleh-olehnya. Terbersit niat untuk nyanyi "halo halo Bandung" tapi karena mereka dari Jogja, maka akan terasa jayus dan gak nyambung. Lagian daripada diprotes warga setempat karena berisik. Ya sudah gak jadi nyanyi. Papi-mami pasti kecewa. Tidak apa-apa, sudahlah Pi, sudahlah Mi, kan masih ada hari esok. Begitu kataku dalam hati. Selamat malam.....
Check out more..

Senin, 15 Maret 2010

On My Way

Hari ini, hari Senin, sore-sore saya pulang dari Salatiga ke Semarang.
Ngapain saya di Salatiga? Karena saya bimbingan skripsi.
Ngapain saya ke Semarang? Karena rumah saya di sana.
Ngapain saya Senin-senin tumben-tumben udah-udah balik-balik Semarang? Karena besok Selasa libur. Hore.

Jujur saja tanpa bermaksud sombong, keluarga saya itu termasuk keluarga berada.
Berada di mana? Ya seringnya sih di rumah, tapi kadang di tempat ibadah, kadang juga di mal. Tapi tidak pernah berada di mana-mana, karena hanya Tuhan yang Maha Kuasa yang bisa berada di mana-mana.
Walaupun keluarga berada, tapi ayah-ibu saya mendidik saya dengan bersahaja dan tegas. Maklum lah dulu ayah saya tentara. Jadi saya harus pulang ke Semarang dengan mandiri, tidak dijemput sopir, karena emang gak punya sopir.

Maka saya pun naik bis PATAS. PATAS itu artinya tempat terbatas. Artinya kalau sudah penuh, bisnya gak bakal ngangkut orang lagi. Artinya semua orang pasti dapet tempat duduk. Sebuah konsep yang mulia menurut saya, semua orang bahagia. Tapi pada kenyataannya tidaklah demikian Saudara-saudara. Si kondektur seringnya tidak kebagian tempat duduk kalau bisnya penuh. Kasihan hai engkau si kondektur, dikhianati perusahaanmu sendiri. Bahkan si sopir bis pun tidak pernah mau berbagi tempat duduk dengan si kondektur. Kasihan hai engkau si kondektur, dikhianati rekan seperjuanganmu sendiri. Ya sudah sekian dulu tentang si kondektur, nanti saya gak lanjut-lanjut. Kasihan hai engkau si kondektur, kisahmu dipotong begitu saja...

Bis PATAS ini sendiri cukup asoy. Full AC, kursinya juga nyaman, ongkosnya juga gak terlalu mahal. Tapi ya tetep aja gak sempurna. Kenapa? Karena kesempurnaan adalah milik Allah semata, ya kan?
Biasanya saya naek bis ini sampe deket perumahan tempat keluarga saya berada, trus dari situ dijemput oleh ayah saya sampe ke rumah. Naek apa? Yah, kadang naek mobil lapis baja, kadang naek tank, kadang jalan kaki sambil baris berbaris. Namanya juga sang mantan tentara. Nah, tapi sejak beberapa bulan yang lalu, ada peraturan baru yang semena-mena melarang bis besar masuk kota. Jadi habis dari jalan tol langsung masuk terminal. Entah siapa yang membuat aturan itu, terkutuklah dia. Amin. Akibatnya saya tidak bisa memakai modus operandi saya yang lama untuk pulang ke rumah.

Sekarang, sebelum masuk tol, saya harus ganti bis kecil. Dengan bis kecil itulah saya yang besar ini pulang ke rumah. Ke deket perumahan maksudnya. Bis kecil ini bener-bener laen sama bis PATAS. Gak pake AC, kadang kudu berdiri dempet-dempetan, ya pokoknya tahu sendiri kan bis kota pada umumnya. Apalagi tadi hujan.
Benar-benar ketangguhan saya sebagai lelaki jantan diuji di sini. Tapi untung saja bis yang saya naiki sore tadi tidak penuh, jadi bisa duduk deh.
"SUDAH SAMPE MANA? HUJAN GAK?"
Ibu SMS saya gitu.
"HI MOM, I'M ON THE SECOND BUS RIGHT NOW.. IT'S RAINY NOW, BUT I'M FINE.. I'LL BE THERE SOON.. SEE YOU MOM.."
Demikian saya membalas. Jangan heran wahai para Pembaca. Dalam keluarga saya, percakapan dalam bahasa Inggris seperti itu sudah biasa. Maklum lah ibu saya dibesarkan di Texas sebelum pindah ke Indonesia.
Titit...!!
Kata yang terakhir tadi itu adalah suara hape tanda SMS saya terkirim...
Tak lama kemudian ibu pun membalas,
"BARUSAN SMS NGOMONG APA? MAMI GAK MUDENG!"
Yah!! Si ibu ini... Jadi ketahuan deh sama Pembaca kalo tadi saya ngibul doang. Akhirnya saya ulangi lagi SMS saya tadi dalam versi bahasa Indonesia kemudian saya kirim lagi.
Titit...!!

Bis kecil pun melaju. Si mas kenek menagih uang. Saya bayar pake 5000-an. Ealah, gak dikasih kembalian. Emang bis kecil ini tarifnya gak jelas. Kadang 3000, kadang 4000. Berdasarkan pengamatan saya, kayaknya kalo penumpangnya lagi sepi tarifnya lebih tinggi. Apalagi ini hujan. Ya sudahlah, saya ikhlaskan saja. Bukankah ada tertulis, "Berikanlah kepada si kenek apa yang menjadi hak si kenek..." Tapi itu tertulisnya entah dimana, saya gak tau..

Tak berapa lama naik sejumlah ibu-ibu dan seorang kakek-kakek yang bawa payung lipet. Semua kebagian tempat duduk. Si kakek sepanjang perjalanan maenan payung terus. Dibuka, ditutup, dilipet. Dibuka lagi, ditutup lagi, dilipet lagi. Diem sebentar. Eh dibuka lagi, diem agak lama, ditutup lagi, dilipet lagi. Entah apa maksudnya. Mungkin si kakek ini mahasiswa S3 yang sedang melakukan penelitian mengenai dampak dibuka-tutupnya payung lipet secara periodik pada laju bis kecil yang sedang ngebut. Mungkin juga sekedar hobi. Kurang tahu juga.

Kemudian naik seorang pengamen bergitar yang menyapa para penumpang, "Yak selamat soreee..." dilanjutkan dengan menyanyikan lagu cinta bernada Melayu melas sambil merem melek kayak orang organisme gitu. Saya penasaran bisa request lagu gak ya. Kalo bisa saya mau pesen lagu 'Gugur Bunga' yang versi house ah.
Oya, ngomong-ngomong soal pengamen ini, sepanjang pengalaman saya naek bis, gak pernah sekalipun pengamen yang naek bis dimintai uang sama si mas kenek. Padahal dia naek bisnya jauh juga loh. Hmm.. Jadi pengin nyoba laen kali naek bis kecil sambil bawa gitar. Moga-moga gak dimintai uang. Mungkin tergantung jenis gitarnya juga kali. Kalo gitar listrik yang pake ampli gitu kayaknya tetep ditarik bayaran deh.

Kemudian si mas kenek pun ngerokok. Aduh mas kenek, teganya dikau. Asapnya kemana-mana. Sejumlah ibu-ibu penumpang sampai batuk-batuk. Ya Bapa, ampunilah si mas kenek ini, karena si mas kenek tidak tahu apa yang dia lakukan.

Kemudian bis pun berhenti di suatu tempat untuk menunggu penumpang. Ngetem istilahnya. Cukup lama.
Kira-kira dua tahun lebih satu minggu kami ngetem di sana.
Gak ding, boong. Dua puluh menitan lah.. Ya tapi itu lama deh.

Kemudian saya pun jadi berpikir, mungkin inilah sebabnya orang jadi enggan naek transportasi umum macam bis kota gitu. Ya karena morat-marit dan kesemrawutannya itu. Seolah-olah jadi identik dengan transportasi rakyat kecil. Padahal saya yang rakyat besar ini juga naek bis umum kan. Kalo saja semua bis umum itu bisa lebih terorganisir, lebih teratur, pasti banyak yang mau naek transportasi umum.
Akhirnya jumlah kendaraan pribadi di jalan pun bisa dikurangi.
Akhirnya kemacetan pun bisa diatasi.
Akhirnya polusi dan pemanasan global pun bisa dicegah.
Akhirnya cewek-cewek cantik pun banyak yang naek bis umum. Ihiiiyyy..
Indahnya dunia.
Kapan ya itu bisa terwujud? Tunggu saya jadi walikota yah. Amin.
Wassalam.



"Kiri maaassss...!!" Saya pun turun dari bis.
Check out more..

Jumat, 12 Maret 2010

Pada Suatu Sore

Sore itu aku membeli gorengan untuk lauk makan malam. Bakulnya di sebelah rumah, jadi tinggal jalan kaki.
Pas keluar dari rumah, lewatlah seorang gadis yang lumayan cantik naek sepeda motor. Rambutnya hitam panjang berkelebatan ditiup angin. Ngeengg, ngengg, begitu bunyinya. Tentu saja bunyi motornya, bukan rambutnya. Kalo rambutnya bunyinya wukk, wukk, kayaknya gitu.

Aku memandangnya (biasalah mata seorang lelaki).
Dia memandangku (nah ini yang gak biasa, mau-maunya tu gadis manis ngliatin aku).
Kami saling memandang. Mata kami beradu. Wajah kami memerah. Hati kami berdebar-debar.
Okelah, 4 kalimat terakhir tadi emang terlalu lebay dan didramatisir.
Tapi intinya si gadis itu memandangku, sebagaimana aku memandangnya.
Karena itu, akhirnya kuputuskan untuk beli gorengan (lho piye tho..).

Aku membeli 5 biji gorengan, sebiji 600 rupiah, jadi total 3000 rupiah. Tapi karena aku sudah jadi pelanggan setia, si mas bakul ngasih bonus sebiji. Biasanya emang gitu sih, tiap kali beli dikasih tambahan sebiji-dua biji.
Ah, sayang si mas bakul ini cuma bakul gorengan. Andai si mas bakul jadi bakul hape ato blekberi. Masih suka ngasih bonus tambahan sebiji-dua biji gak yaa...
Bai de wei, alinea ini tidak ada hubungannya dengan cerita utama. Cuma buat nambah-nambahin aja biar postingnya agak panjang.

Setelah dipandangi sang gadis, sepanjang perjalanan pergi-pulang dari rumah ke bakul gorengan, aku terus berpikir. Apakah mungkin aku terlalu memandang rendah wajahku ini. Kalo tampangku jelek-jelek amat ya gak mungkin si gadis sudi melihatku, malah mungkin bisa-bisa aku diludahinya. Kalo tampangku biasa aja ya kayaknya si gadis gak bakal sampe rela bela-belain tengak-tengok dari atas motor gitu. Kesimpulannya, tentu saja tampangku ini bisa dikategorikan sebagai level menengah ke atas.
Untuk memantapkan kesimpulanku ini, tentu saja aku harus mengkonfirmasikan pada orang lain.

Sesampainya di rumah, sambil nenteng kresek berisi gorengan, aku bertanya pada si mami yang lagi makan sambil nonton tipi.
"Mam, aku ganteng gak sih?"
Dalam waktu sepersekian-detik, tanpa berpikir sedikit pun, tanpa mengalihkan matanya dari tipi, si mami menjawab,
"Ora ik."
Itu adalah bahasa Ibrani, maklum lah mamiku masih keturunan Yahudi, artinya "Tidak tuh".

Sebagai informasi, mamiku itu adalah mami kandung, bukan mami tiri ataupun mami angkat. Jadi aku ini anak kandungnya, darah dagingnya. Dan ketika aku yang darah daging beliau ini bertanya apakah aku ganteng, si mami kandung yang mengandungku selama 9 bulan bonus 10 hari dan melahirkanku dengan susah payah serta membesarkanku dengan penuh kerja keras itu menjawab,
"Ora ik."
Ya sudah.

"Napa sih, tanya-tanya gitu tiba-tiba?" si mami yang acara tipinya sedang iklan segera mengalihkan perhatiannya padaku.
"Tadi ada cewek ngliatin aye, bla, bla, bla.." Kujelaskan kronologis peristiwanya, sambil berharap siapa tahu si mami tadi cuma asal jawab karena lagi nonton tipi dan sekarang bisa berpikir dengan jernih.
"Ooo... gitu..." si mami manggut-manggut.
Iklan di tipi pun selesai, acara kembali ditayangkan.
Tidak ada kelanjutan tanggapan dari si mami.
Ya sudah.

Aku pun ke dapur ambil piring sama nasi, lalu makan dengan gorengan di sebelah mami sambil nonton tipi juga.
"Oya.." celetuk si mami tiba-tiba.
"Ya?"
"Minta satu dong.."
Gorengan pun diambil satu oleh mami.
Demikianlah sore itu berjalan, tanpa kupikirkan lagi pandangan mata si gadis pengendara motor.



Sementara itu di tempat lain, entah dimana, si gadis pengendara motor sudah tidak lagi mengendarai motornya, atau masih? Ngeeng, ngeeng... Wukk, wukk..
Entahlah. Entah juga apa yang dipikirkannya...
Check out more..